Sabtu, 07 Februari 2015

Tugas : Drama Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)


Berawal dari tugas sekolah, saya membuat drama yang diadaptasi dari novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli terbitan Balai Pustaka. Selamat membaca! ^-^



Tokoh-tokoh dalam cerita

1.         Sitti Nurbaya                            :     Pelaku Utama (Protagonis). Gadis asal kota Padang yang yang elok rupanya, dan berbudi pekerti baik. Dan merupakan anak dari Baginda Sulaiman.
2.         Samsul Bahri                            :     Pelaku Utama (Protagonis). Anak dari Sutan Mahmud Syah, teman Sitti Nurbaya yang pintar dan bertingkah laku baik, serta dapat dipercaya oleh teman-temannya.
3.         Sutan Mahmud Syah            :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Ayah dari Samsul Bahri dan suami dari Sitti Sulaiman sekaligus sahabat karib Baginda Sulaiman.
4.         Baginda Sulaiman                  :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Ayah dari Sitti Nurbaya. Saudagar kaya yang pandai menjalankan perniagaannya dengan baik.
5.         Datuk Meringgih                    :     Pelaku Utama (Antagonis). Saudagar kaya se-Kota Padang yang bakhil, kikir, tamak, dan bengis budi pekertinya.
6.         Arifin                                           :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Sahabat Sitti Nurbaya dan Samsulbahri.
7.         Bahtiar                                       :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Sahabat Sitti Nurbaya dan Samsulbahri.
8.         Pak Ali                                        :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Kusir setia Keluarga Samsulbahri.
9.         Putri Rabiah                             :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Kakak perempuan Sutan Mahmud Syah.
10.     Putri Rukiah                             :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Anak dari Putri Rabiah. Keponakan Sutan Mahmud Syah.
11.     Sutan Hamzah                         :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Adik laki-laki dari Sutan Mahmud Syah yang beristri banyak.
12.     Sitti Maryam                            :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Ibu Samsulbahri.
13.     Juara Lintau                              :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Dukun
14.     Sitti Alimah                               :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Sepupu Sitti Nurbaya dari ibunya.
15.     Ahmad Maulana                    :     Pelaku Tamabahan (Protagonis). Paman Sitti Nurbaya.
16.     Fatimah                                     :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Anak dari Pamannya, Ahmad Maulana.
17.     Pendekar Lima                        :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Anak buah Datuk Meringgih.
18.     Pendekar Empat                    :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Anak buah Datuk Meringgih.
19.     Pendekar Tiga                         :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Anak buah Datuk Meringgih.
20.     Serdadu yang Tak Sakit       :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Teman serdadu yang sedang sakit.
21.     Serdadu yang Sakit               :     Pelaku Tambahan (Antagonis). Serdadu yang tertembk kakinya oleh Bakhtiar.
22.     Letnan Mas                              :     Pelaku Utama (Protagonis). Serdadu Belanda yang sebenarnya adalah Samsulbahri.
23.     Letnan Yan Van Sta               :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Teman Letnas Mas.
24.     Seorang Serdadu                   :     Pelaku Tambahan (Tritagonis). Serdadu yang disuruh seorang Kapitan Belanda.
25.     Seorang Kapitan                     :     Pelaku Tambahan (Tritagonis). Seorang Kapitan Belanda.
26.     Engku Datuk Malelo             :     Pelaku Tambahan (Protagonis).
27.     Engku Malim Butah               :     Pelaku Tambahan (Protagonis).
28.     Seorang Residen                    :     Pelaku Tambahan (Tritagonis). Residen yang bekerja pada Pemerintah Belanda.
29.     Tuanku Laras                           :     Pelaku Tambahan (Tritagonis). Tuanku adat setempat.
30.     Penghulu, Kepala Negeri    :     Pelaku Tambahan (Protagonis). Menentang adanya Belasting di Padang.
31.     Seorang Pemuda                   :     Pelaku Tambahan (Tritagonis).
32.     Tukang Sampan                      :     Pelaku Tambahan (Protagonis)
33.     Ayah Arifin                               :     Pelaku Tambahan (Tritagonis)
34.     Ibu Arifin                                   :     Pelaku Tambahan (Protagonis)
35.     Opas Ayah Arifin                    :     Pelaku Tambahan (Protagonis)
















Skenario Cerita Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai

Pentas menggambarkan sebuah tempat di bawah pepohonan yang rindang didepan sekolah Belanda Pasara Ambacang di Padang. Tampak disana ada dua orang anak muda yang hendak berlindung dari panasnya matahari yang memancar dari atas dan timbul dari arah tanah, bagaimana uap air yang mendidih.
Salah seorang dari mereka bernama Samsulbahri yang biasanya dipanggil Sam oleh teman-temannya. Ia adalah anak dari seorang Penghulu (Ketua Adat) yang berpangkat dan berbangsa tinggi di Padang. Ia duduk di bangku sekolah kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang.
Lalu, yang menemaninya adalah seorang gadis anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Ia juga sangat baik paras mukanya, dan berperilaku baik.
Samsulbahri                     :”Kenapa Pak Ali hari ini terlambat datang?”
Sitti Nurbaya         :”Iya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada disini. Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir setengah dua.”
Samsulbahri           :”Jangan-jangan ia teridur karena mengantuk ( memasang muka kesal ). Sebab tadi malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton balapan kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya akan kuadukan kepada ayahku ( dengan muka kesal).”
Sitti Nurbaya         :”Ah…jangan Sam, Kasihanilah orang tua itu! ( mengelus-elus punggung Samsulbahri ). Karena ia bukan baru sehari atau dua hari saja ia bekerja denganmu, melainkan telah bertahun-tahun. Dan dia dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum pernah ia melakukan kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga? Pada sangkaku, tentulah ada alangan apa-apa padanya. Jangan-jangan ia mendapat kecelakakaan di tengah jalan. Kasihan orang tua itu! Lebih baik kita berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang ke rumah. Barangkali kita bertemu ia dijalan ( menenangkan Samsulbahri ).”
Samsulbahri           :”Ya, tetapi aku lebih suka naik bendi daripada berjalan kaki, pulang ke rumah, sebab aku amat lelah rasanya dan hari amat panas. Lihatlah mukamu ( memegang wajah Nurbaya ), telah merah seperti jambu air, kena panas matahari!”
Sitti Nurbaya         :”Benar hari panas, tetapi tak mengapa. Kaulihat sendiri, aku ada membawa payung yang dapat kita pakai bersama-sama. Merah mukaku ini bukan karena panas semata-mata, melainkan memang sejak dari sekolah sudah seperti ini ( menunjuk mukanya ).”
Samsulbahri           :“Apa sebabnya? Barangkali engkau dimarahi gurumu ( menatap mata Nurbaya ).”
Sitti Nurbaya         :“Bukan begitu Sam, tapi….O, itu dia Pak Ali datang! ( menunjuk ke bendi yang dikendarai oleh Pak Ali)”
Lalu, tak lama kemudian, berhentilah bendi tersebut yang ditarik olek seekor kuda Batak. Ternyata, kuda ini telah lama dipakai, karena badannya sudah basah dengan keringat. Di atas bendi ini duduk seorang kusir yang usianya sudah tak remaja lagi.
Samsulbahri           :“( muka memerah, tanda marah. Menghampiri bendi tersebut ) Pak Ali, mengapa terlambat datang menjemput kami? Tahukah, bahwa sekarang ini sudah pukul setengah dua? Setengah jam lamanya kami harus menunggu di bawah pohon ketapang, seperti ayam ditinggalkan induknya.”
Pak Ali                   :“Engku Muda, janganlah marah! Bukannya sengaja hamba datang terlambat. Tetapi Engku Penghulu menyuruh hamba pergi menjemput Engku Meringgih. Kebetulan Engku Meringgih ada di tokonya. Jadi terpaksa hamba pergi ke Ranah, mencari rumahnya. Itulah sebabnya hamba dating terlambat.”
Samsulbahri           :“Hm…Marilah Nur, naiklah, supaya lekas sampai ke rumah, sebab perutku sudah berteriak minta makan.”
Kedua anak muda itu pun naik ke atas bendi Pak Ali dan pulanglah mereka ke rumah mereka di Kampung Jawa Dalam. Mereka pun berbincang-bincang di bendi tersebut.
Samsulbahri           :( mencolek tangan Nurbaya ) “Nur, belum kau ceritakan padaku, apa sebabnya mukamu memerah seperti tadi.”
Sitti Nurbaya         :“O, ya, Sam. Aku hampir terlupa. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van der Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang, pada satu jam. Dua sampai tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing kepalaku rasanya. Tapi, tak dapat juga kumenemukan jawabannya. Bagaimanakah jalannya hitungan yang seperti ini?”
Samsulbahri           :“Seperti apa soalnya?”
Sitti Nurbaya         :“Seperti ini.” “Pukul 12, jarum pendek dan jarum panjang berimpit. Pukul berapa kedua jam itu berimpit kembali?”
Samsulbahri           :“Ah, jalan hitungan yang seperti iini, hampir sama dengan jalan hitungan yang dulu pernah kuajarkan dahulu kepadamu” “Yaitu tentang perjalanan orang yang berjalan kaki dan naik kuda. Yang terutama harus kau ketahui pada hitungan yang sedemikian ini, ialah jarak angka 12 ke angka 12, pada jam kalau angka itu dibuka dan dijadikan garis lurus. Berapa?”
Sitti Nurbaya         :“( terdiam dan berpikir dengan keras )”
Samsulbahri           :“Begini. Cobalah pinjami aku batu tulis dan bukumu itu!”
Sitti Nurbaya         :“( menyerahkan buku dan batu tulisnya )” “( mengatakan dengan lantang ) 60 menit!”
Samsulbahri           :“Benar. 60 menit atau 60 meter atau 60 pal, tapi itu sekedar nama saja. Panjang antara dua angka 12 di jam, dapat kita samakan dengan panjang jalan 60 km, antara dua buah negeri. Misalnya negeri S dan D. Sekarang, manakah yang lebih cepat, jarum panjangkah atau jarum pendek?”
Sitti Nurbaya         :“Tentu jarum panjang.”
Samsulbahri           :“Nah, jarum panjang itu misalkan si I, yang menunggang kuda dari S ke D, dan jarum panjang itu si Z, yang berjalan dari S ke D.” “Sekarang, berapakah kecepatan perjalanan kedua jarum panjang itu?”
Sitti Nurbaya         :“( berpikir sejenak ) Jarum panjang 60 menit sejam dan jarum pendek 5 menit.”
Samsubahri            :“Jadi berapa perbedaan perjalanan kedua jarum jam itu dalam sejam?”
Sitti Nurbaya         :“55 menit.”
Samsulbahri           :“Nah, suruhlah kedua mereka itu berangkat! Si I dari S ke D, dan Z dari S ke D.”
Sitti Nurbaya         :“O, ya, benar,benar!”
Samsulbahri           :“Tidak sulit bukan?”
Sitti Nurbaya         :”Benar. Terima kasih, Sam!”
Lalu bendi tersebut berhenti di depan pekarangan rumah Sitti Nurbaya. Dan tentunya Sitti Nurbaya turun dari bendi menuju ke rumahnya.
Samsulbahri           :”O, ya, Nur. Tunggu sebentar.” “Hampir lupa aku. Tadi, waktu keluar bermain-main, aku telah bermufakat dengan si Arifin dan si Bakhtiar, esok hari akan pergi ke Gunung Padang, pergi bermain untuk mencari jambu keling, sebab esok hari Ahad, sukakah engkau ikut dengan kami?”
Sitti Nurbaya         :“( dengan girang ) Tentu sekali suka, Sam.” “Tetapi, aku harus minta izin dahulu kepada ayahku. Jika bisa, nanti petang akan kukabarkan kepadamu.”
Samsulbahri           :“Baiklah. Tetapi jikalau engkau ikut serta, hendaklah kau bawa sesuatu yang dapat kita makan bersama-sama disana. Perjanjian kami tadi, si Arifin membawa air seterup dan aku membawa roti. Kalau boleh, aku hendak meminjam bedil si Hendrik, supaya dapat berburu pula, jikalau ada burung disana.”
Sitti Nurbaya         :”Alangkah senangnya! Kalau diizinkan aku ikut, nanti akan kupikirkan apa yang hendak kubawa.”
Samsulbahri           :”Baiklah. Tabik, Nur!”
Sitti Nurbaya         :”( melangkah menuju rumahnya ) Tabik, Sam!”
Setelah itu, Bendi pun dibawanya ke pekarangan rumah Samsul, yang letaknya di sebelah rumah Nurbaya. Ketika Samsul hendak masuk ke dalam rumahnya, nempak sebuah kereta berhenti dan ayahnya duduk berbincang-bincang dengan seorang tamu di ruang tamu.
Sutan Mahmud      :”( melihat Samsul datang ) Hei, telah pukul satu!”
Datuk Meringgih   :”( melihat arloji besarnya ) Sudah setengah dua.”
Sutan Mahmud      :”Jadi Engku Datuk memberikan hamba pinjaman uang yang 3000 rupiah itu?”
Datuk Meringgih   :”Tentu.”
Sutan Mahmud      :”Tetapi, apa yang akan saya berikan kepada Engku Datuk untuk menjadi jaminan?”
Datuk Meringgih   :”Tak apa. Hamba percaya pada Tuanku Penghulu.”
Sutan Mahmud      :”Bukan begitu. Hamba takut hutang itu belum lekas lunas, hamba sudah maninggal dunia. Oleh sebab itu, hamba akan buat surat perjanjian, bahwa rumah ini beserta tanhnya telah hamba jaminkan kepada Engku dengan harga 3000 rupiah.”
Datuk Meringgih   :”Tentu aku setuju Tuanku (bahagia). (berdiri dari tempat duduknya) Sekarang, hamba mohon izin pulang, sebab Tuanku tentulah sudah lapar.”
Sutan Mahmud      :”Tidakkah sebaiknya Engku makan disini?”
Datuk Meringgih   :”Tak uasahlah. Marilah (menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan)”
Sutan Mahmud      :”(berjabat tangan)”
Lalu Datuk Meringgih turun dari atas rumah itu da naik ke atas bendinya. Lalu terlihatlah Sutan Mahmud menarik napas panjang. Seperti orang yang sudah bebas dari suatu bahaya dan kemudian masuklah ia ke dalam rumahnya.
Sutan Mahmud      :”(seraya berkata dalam hati) Kalau aku tak dapat pinjam darinya, tentulah terpaksa  kujual sawah pusaka. Hampir saja! Jika ku pinjam dari Baginda Sulaiman, pasti ia akan segan untuk dibayar kembali.”
Lalu, keluarlah Samsulbahri memakai baju cina putih dan celana genggang dari biliknya. Lalu, datang menghampiri ayahnya.
Samsulbahri           :”Jikalau ayah mengizinkan, hamba hendak pergi pada esok hari bermain-main di Gunung Padang.”
Sutan Mahmud      :”Dengan siapa?”
Samsulbahri           :”Dengan si Arifin dan Bakhtiar dan juga insya allah bersama Nurbaya.”
Sutan Mahmud      :”Dengan Nurbaya?” (berpikir sejenak) “Tetapi hati-hatilah engkau menjaga dirimu dan Nurbaya! Jangan sampai ada apa-apa dan jangan berlaku yang tidak sesonoh.”
Samsulbahri           :”Baiklah, Ayah.”
Lalu, duduklah mereka dan makan di ruang makan bersama ibu Samsul yang telah dahulu menyiapkan makanan. Setelah mereka makan, pergilah Sutan Mahmud ke rumah Putri Rabiah. [Pentas menggambarkan sebuah halaman belakang rumah] Nampak disana Putri Rukiah sedang duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita.
Sutan Mahmud      :(berhenti didekat Putri Rukiah) “Kemana ibumu, Rukiah?”
Putri Rukiah           :(berdiri) “Sedang sembahyang, Mamanda.” (bangun dan berjalan menuju ke dalam bilik ibunya).
Sutan Mahmud      :”Sudahlah, aku akan menunggu sebentar.” (duduk di atas kursi makan, dekat meja makan kecil)
Tatkala itu, terdengarlah suara seorang perempuan dari dalam bilik.
Putri Rubiah           :”Siapakah yang datang itu, Rubiah?”
Putri Rukiah           :”Mamanda Penghulu.”
Putri Rubiah           :”O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu, karena aku baru selesai sembahayang.”
Sementara itu, bertanyalah Sutan Mahmud kepada Rukiah.
Sutan Mahmud      :”Apa yang kau jahit itu, Rukiah?”
Putri Rukiah           :”Baju kerawang, Mamanda.”
Sutan Mahmud      :”Coba kulihat!” (menjumpai jahitan Rukiah) “Bagus benar buatanmu ini. Untuk siapa baju ini?”
Putri Rukiah           :(malu) “Untuk siapa sajalah yang suka.”
Sutan Mahmud      :”Kalau mamanda suka, bolehkah mamanda ambil. Tapi menurut hamba,  baju ini kecil untuk mamanda. Sepertinya ini cocok dengan remaja yang sebaya denganmu, bukan lelaki tua macam mamandamu ini.” (tersenyum).
Putri Rukiah           :(tunduk kemalu-maluan)
Lalu datanglah Putri Rubiah dari bilik tadi dengan memakai kebaya panjang, celana hitam dan kain Bugis. Melihat Sutan Mahmud sedang duduk, lalu dihampirinyalah Sutan Mahmud oleh Putri Rubiah.
Putri Rubiah           :”Engkau Penghulu! Alangkah senang hatiku melihat kau datang kemari. Karena sudah lama kau tak dating. Kusangka, engkau telah lupa kepada kami.”
Sutan Mahmud      :”Bukan begitu, Kakanda! Maklumlah, hamba ini seorang pegawai pemerintah! Bekerja melakukan :rodi, ronda, mengurusi perkara jalan, perkara polisi, perkara ini dan itu, tiada henti.”
Putri Rubiah           :”Ya, tentu. Tetapi…Rukiah, pergilah masak air panas, untuk mamndamu ini. Masih adakah kue-kue didalam lemari.”
Putri Rukiah           :”Ada, Bunda.”
Sutan Mahmud      :”Ah, tak usah. Aku baru makan dan minum the di rumah, Rukiah.”
Putri Rubiah           :”Mengapa? Tak sudi lagikah engkau makan disini? Engkau sudah tak percaya lagikah kepada saudaramu ini?” (marah)
 Sutan Mahmud     :(menjawab dengan tenang) “Ah, apa sebanya kakanda berkata demikian? Pantaskah hamba menaruh prasangka kepada kakanda? Jika bukan kakanda, siapa lagi yang akan hamba percayai?”
Putri Rubiah           :”Pergilah engkau, Rukiah memasak air, tetapi kopinya jangan terlalau banyak!”
Putri Rukiah           :(pergi ke dapur)
Putri Rubiah           :”Janganlah engkau marah. Aku berkata demikian karena kau sepertinya sudah tak mempedulikan kami lagi. Kau sudah tak pernah berkunjung kemari. Setiap makanan yang kukirimkan kepadamu, tak pernah kau makan. Aku tahu betul itu. Sudahkan kau lupa, disinilah kau dilahirkan. Disinilah orang tua kita tinggal selama 80 tahun. Disini pula mereka berpulang ke rahmatulullah. Kenapa kau lupa akan hal itu?” (menangis)
Sutan Mahmud      :(dengan lemah lembut, berusah menenangkan Putri Rubiah) “Janganlah kakanda seperti itu. Maklumlah kakanda, Tuan kemendur ini baru, ia tegas pula. Jadi harus berhati-hati jika bekerja. Agar dapat nama yang baik. Kakanda tahu sendiri, nenek moyang kita semuanya bekerja pada kompeni, belum ada yang tercoreng namanya. Mereka pun mendapat pujian . alangkah malu dan sayangnya jika hamba merubah nama yang baik itu menjadi kurang baik..”
 Putri Rubiah          :”Walau tak menjadi Penghulu pun, kau sudah pasti melupakan kami.” “Semenjak engkau telah menkah dan beranak, tidak lain yang kau pikirkan hanya mereka saja.”
Sutan Mahmud      :”Jika tidak begitu, bagaimana? Kalau tidak hamba yang mengurus mereka, siapa lagi?”
Putri Rubiah           :”Lihatlah! Memang benar dugaanku, pikiranmu telah berubah daripada adat di Padang ini. Istrimu masih bisa di terima, tetapi anakmu? Bukankah ia ada mamandanya? Bukankah anakmu adalah kemenakannya? Bukankah dia yang harus mengurusnya?” “Atau telah lupa dengan adat nenek moyag kita?”
Sutan Mahmud      :”Benar, tetapi si Mahrum tak seberapa pendapatannya dan banyak pula tanggunganya yang lain, kan malu hamba.”
Putri Rubiah           :”Ya, tapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggunganmu sendiri engkau sia-siakan. Tidak malukah engkau?”
Sutan Mahmud      :”Disia-siakan bagaimana?”
Putri Rubiah           :”Kau tak pernah melihat dan mangindahkannya. Anakmu kau masukkan ke sekolah Beanda, kau turuti semua keinginannya, makan enak, pakaianpun bagus-bagus. Jika hendak pergi, bendi dan kusirmu tersedia untuk membanya, dan tidak lama lagi kau akan kirim dia ke Jakarta, meneruskan pendidikannya. Jikalau ada sekolah untuk menjadi raja, kau pasti akan memasukannya. Bukankah hal seperti itu memerlukan banyak biaya? (menangis tersedu-sedu) Untuk anakmu selalu kau beri uangmu. Untuk anakku, sampai matipun kau tak akan beridia.”
 Sutan Mahmud     :”Rukiah tak bersekolah bukan salah hamba, tetapi salah kakanda sendiri. Sudah berapa kali hamba minta Rukiah tuk disekolahkan, tetapi kakanda bilang sendiri bahwa tak baik anak perempuan sekolah. Karena akan menjadi jahat. Lagi pula hamba menyekolahkan Samsul karena pemikiran hamba sendiri. Kewajiban bapak adalah memajukan anaknya.”
Putri Rubiah           :”Bukan kewajibanmu, tapi mamaknya.” “(menggunkan nada keras) Untung anakku perempuan, tak banyak merugikan engkau. Tetapi, jikalau dia lelaki sekalipun, belum tentu juga kau sekolahkan. Karena yang bersekolah itu orang-orang yang hina dan miskin. Anakku putri, bangsanya tinggi. Walaupun bodoh, banyak yang suka padanya. Dia bisa menjadi orang kaya, karena bangsanya. Anakmu marah karena ibunya orang biasa. Kalau tak pandai, ia takkan laku… (terdiam sejenak)” “Sampai sekarang aku tak mengerti, kenapa kau mengawini perempuan itu. Apa yang kau pandang? Hanya baik saja? Apa gunannya punya istri baik kalau bangsa tak ada?”
Sutan Mahmud      :(marah) “Rupanya bagi kakanda istri itu harus berbangsa tinggi. Pikiran hamba tak begitu! Menikah itu dengan perempuan siapa saja. Asalkan hamba menyukainya dan dia pun suka kepada hamba. Hamba tak memandang bangsa, rupa, atau harta.”
Putri Rubiah           :”Memang kau telah berubah! Tak lama lagi mungkin akan kau tukar agamamu dengan agama Nasrani.”
Sutan Mahmud      :(mengankat bahunya dan menoleh ke sisi lain)
Putri Rubiah           :”Guna-guna apa yang diberikan oleh istrimu sehingga kau jadi begini? Penghulu-penghulu di Padang ini beristri 2, atau 3, atau 4, bahkan 5. Hanya engkau yang dari dulu mempunyai istri seorang saja. Bukankah seorang yang berkedudukan tinggi harus punya istri banyak? Terkadang orang biasa pun ada yang istrinya lebih dari 3. Mengapa engkau tidak demikian?”
Sutan Mahmud      :”Menurutku hanya hewan yang beristri banyak. Kecuali Rasul.” “Kalau perempuan tak boleh bersuami banyak, tentu lelaki juga tak bharus beristri banyak.”
Putri Rubiah           :”Cobalah dengar perkataannya itu! Apakah pantas? Lelaki berbangsa senang mempunyai istri banyak. Tetapi kau, malu beristri banyak. Lupakah engkau pada gelarmu? Sutan? Malu rasanya jika aku ingat pada engkau.” “Jangan kau tergantung pada gajimu itu. Lihat adikmu! Walau tak bekerja, tapi tak pernah kekurangan uang. Wahai Rukiah! Kasihan sekali nasib engkau. (menangis) Sudah tak diurus oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat ia carikan. Engkau sudah berumur lebih dari 14 tahun, tapi belum juga menikah. (menunduk) Jika saja ayahnya masih ada. Aku seperti anak kaum dagang. Tak punya saudara, tak pernah diurus oleh saudaranya. Tak pernah dikunjungi, tak pernah dibelanjakan pakaian, tak pernah diberi uang. Kepada siapa lagi aku meminta jika itu bukan kepadamu, Sutan?”
Sutan Mahmud      :(megang pundak Rubiah) “Sudahlah, jangan kau menangis lagi.”
Putri Rubiah           :”Biarkan sajalah dia menjadi perawan tua. Seorang Penghulu juga tak sanggup mencarikannya seorang suami.”
Sutan Mahmud      :”Berapa uang jemputannya?”
Putri Rubiah           :”Sudah berapa kali kukatakan. 300 rupiah.”
Sutan Mahmud      :”Tak bisakah kurang? 200 atau 250?”
Putri Rubiah           :”Jika ia dikawinkan oleh tukang ikan, 100 atau 150 juga dapat. Tetapi takakan ku kawinkan dia dengan sembarang orang.”
Sutan Mahmud      :”Baiklah, apa lagi yang dimintanya?”
Putri Rubiah           :”Arloji emas, cicin berlian, dan sehelai kain Bugis.”
Sutan Mahmud      :”Astagfirullah. Darimana hamba dapatkan itu semua?”
Putri Rubiah           :”Sudah kukatakan, jika kau tak dapat menyanggupinya maka tak usah.”
Sutan Mahmud      :”Baiklah, jemput dia sekarang” “Masalah bendi gampang. Ambil saja bendi punyaku?”
Putri Rubiah           :”Benarkah?”
Sutan Mahmud      :”Benar”
Putri Rubiah           :”Terima kasih. Tetapi, dari mana kau dapat uang?”
Sutan Mahmud      :”Datuk Meringgih.”
Putri Rubiah           :”Berapa yang kau pinjam?”
Sutan Mahmud      :”3000 rupiah.”
Putri Rubiah           :”Banyak sekali. Tapi cukuplah.”
Setelah itu, datanglah Putri Rukiah membawa kopi dan kue-kue. Lalu menghampiri meja Sutan Mahmud. Tetapi seketika, Sutan Mahmud dan Putri Rubiah menjadi terdiam.
Putri Rukiah           :(berguram dalam hati) “Ah, tak baik  seorang anak perempuan memikirkanhal ini.” (masuk kedalam biliknya)
Sutan Mahmud      :”Jadi, sanggupkah kakanda melakukan ini?”
Putri Rubiah           :”Dengan sepenuh hati. Tetapi jangan di buru-burukan. Paling lama 3 bulan. Lagi pula, pakaian Rukiah dan Sutan Masyur pun belum ada. Kasur dan bantalnya pun belum disediakan. Begitu pula kue-kuenya. Dan juga undangannya.”
Sutan Mahmud      :”Kepada saudara yang jauh-jauh, akan ku tuliskan surat undangannya. Tetapi kepada saudara yang dekat dari sini, biar si Hamzah saja yang memberihunya.”
Putri Rubiah           :”Baiklaih. Terima kasih.”
Sutan Mahmud      :(menghiraukan perkataan Rubiah. Meminum kopi)
Belum  habis kopi itu oleh Sutan Mahmud, tiba-tiba terdengarlah dari jauh katuk-katuk berbunyi, tanda ada orang mengamuk. Sutan Mahmud segera beranjak dari tempat duduknya dan mendengarkan suara katuk-katuk itu. Suara katuk itu makin lama makin keras dan cepat bunyinya.
Sutan Mahmud      :(panik)”Orang mengamuk!”
Putri Rubiah           :(gemetar ketakutan) “Iya” “Janganlah kau pergi kesana.”
Sutan Mahmud      :”Harus.” “Barangkali itu terjadi didalam daerah pengawasan hamba.”
Lalu, Putri Rukiah keluar dari biliknya dan memegang erat tangan Sutan Mahmud.
Putri Rubiah           :”Jangan mamanda pergi! Hamba takut, kalau orang-orang masuk ke dalam rumah.”
Sutan Mahmud      :”Ah, barangkali di Kampung Jawa atau Olo. Bukan di Kampung ini.”
Putri Rubiah           :”Tetapi janganlah pergi! Disini tak ada lelaki. Si Lasa sakit si Hamzah sedang pergi.”
Sutan Mahmud      :”Pergi kemana dia?”
Putri Rubiah           :”Entah” “Jangan-jangan dia mendapat bahaya.”
Ketika itu, terdenagrlah orang cepat-cepat naik tangga rumah. Mereka semakin takut, lalu berdirilah mereka dibelakang Sutan Mahmud.
Putri Rubiah           :(bertanya kepada Sutan Mahmud) ”Siapa itu?”
Sutan Mahmud      :”Ah, barangkali Ali yang akan memberitahukan soal ini.” “Engkau Ali” (berteriak)
Sutan Hamzah       :”Bukan!”
Sutan Mahmud      :”Ha… itu dia Hamzah! Dari mana saja kau?”
Sutan Hamzah       :”Dari tanah lapang, hendak kemari. Tetapi sampai di rumah jaga, kedengaran oleh hamba katuk-katuk. Sebab itu hamba berlari kemari.”
 Sutan Mahmud     :”Dimanakah tempat orang mengamuk itu?”
 Sutan Hamzah      :”Entah”
 Sutan Mahmud     :”Baiklah, tinggallah engkau disini! Aku akan mencari tau dimana orang  mengamuk itu.”
 Putri Rubiah          :”Jangan kau pergi! Biarkan mereka berbunuh-bunuhan. Apa pedulimu.”
Sutan Mahmud      :”Jangan begitu. Seorang kepala Negeri harus mengetahui dan memeriksa hal ini. Lebih-lebih lagi jika itu terjadi di kampong pengawasaan hamba.”
Putri Rubiah           :”Lebih sayangkah engkau pada pangkatmu dari pada jiwamu?”
Sutan Mahmud      :”Ah… jangan kuatir! Belum tentu hamba mati” “ Jikalau pengamukan itu ada di pengawasaan kakanda tetapi kakanda tak ada di sana, tentulah kakanda dapat nama kurang baik.”
Putri Rubiah           :”Baiklah. Jaga dirimu! Ingat! Pangkat dapat dicaritapi nyawa tak bisa didapatkan kembali. Bawalah keris pusaka Ayah”
Sutan Mahmud      :”Bailah. Dimana itu?”
Putri Rubiah           :”Tunggu!” (masuk kedalam bilik) (keluar bilik membawa keris) (dikasihnya keris itu kepada Sutan Mahmud)
Sutan Mahmud      :”Hamzah, jaga rumah baik-baik!”
Sutan Hamzah       :”Baik!”
Sutan Mahmud      :(pergi meninggalkan rumah Putri Rubiah)
Pada keesokan harinya, Samsulbahri terbangun karena bunyi alarmnya yang ia pasang pada jam 5 pagi. Lalu ia keluar dari bilik diam-diam karena takut ayahnya terbangun. Tatkala sampai luar, dilihatnya cuaca yang sangat cerah. Di jalan besar mulai kelihatan seseorang yang sedang tergesa-gesa seperti ia sedang memburu sesuatu. Di sebalah timur juga sudah nampak cahaya matahari, yang memancar bak berlian ruby yang diterangi oleh segenap cahaya yang menyinari bumi ini.
Lalu Samsu pergi ke bilik Pak Ali untuk membangunkannya.
Samsulbahri           :(mengetuk pintu bilik) “Pak Ali, bangunlah! Hari sudah pagi!”
Pak Ali                   :(keluar dari bilik) (menggosok-gosokan matanya) “Sudah pukul berapa sekarang, Engku Muda?”
Samsulbahri           :”Sudah pukul 6.”
Mendengar jawaban Samsul, Pak Ali langsung pergi ke kandang untuk memandikan kudanya, membersihkan bendi, pakaian kuda, dan kandangnya. Sementara itu, pergilah ia ke sumur, untuk membersihkan diri. Tatkala ia hendak masuk kembali ke dalam rumah, ia melihat ayahnya sudah bangun dan duduk di kursi malas, serambi belakang.
Sutan Mahmud      :(duduk di kursi malas) “Pagi benar engkau bangun Samsul?”
Samsulbahri           :”Supaya tidak kesiangan di jalan ayah.”
Sutan Mahmud      :”Jadi juga engkau pergi?”
Samsulbahri           :”Jadi ayah.”
Sutan Mahmud      :”Nurbaya ikut pula?”
Samsulbahri           :”Ikut ayah. Tadi dia yang sampaikan kepada hamba tadi malam.”
Sutan Mahmud      :”Hati-hati engkau menjaga anak orang!”
Samsulbahri           :”Ya, ayah.”
Sutan Mahmud      :”Baiklah” (bangun dari kursi malas) (turun ke bawah)
Lalu kira-kira jam 6 lewat seperempat, terlihatlah Nurbaya dan Samsul di atas bendinya. Disusul pula Pak Ali.
Pak Ali                   :(menoleh kebelakang) “Terus ke Muara, Engku Muda?”
Samsulbahri           :”Tidak, ke rumah si Arifin dahulu. Di jalan Gereja.”
Nurbaya                 :”Nyaris tadi aku kesiangan, Sam.” “Karena tadi aku hampir tak dapat tidur sebab takut mendengar katuk-katuk.”
Samsulbahri           :”Akupun ngeri mendengarnya. Aku juga baru dapat tidur pada pukul 2 malam, setelah ayahku pulang. Aku bangun pukul lima pula.”
Nurbaya                 :”Dimana orang-orang yang mengamuk itu?”
Samsulbahri           :”Aku pun tak tahu. Katuk-katuk itu berbunyi pasa segenap pihak dan lama pula bunyinya.”
Ditengah perbincangan mereka, tiba-tiba bendi itu berhenti di depan pekarangan rumah Kopjaksa Sutan Pamuncak. Disana, terlihat 2 orang yang telah menunggu kedatangan bendi Samsul.
Bakhtiar                 :”Hai! Nurbaya juga ikut?” “Baiklah, lebih banyak yang ikut lebih seru.”
Nurbaya                 :”Mengapa Tiar? Tak bolehkah aku ikut, karena aku anak perempuan (tersenyum) ?”
Bakhtiar                 :”Ah…masa tak boleh Nona.” “Aku berkata demikian bukan karen tak suka, melainkan sangat girang hatiku melihat engkau ikut.”
Arifin                     :(menyela) ”Bohong! Karena ia berkat begitu karena kuatir tak mendapat kue-kue yang kita bawa.”
Nurbaya                 :”Jika benar engkau senang karena aku ikut, nanti disana aku akan meyuruhmu untuk memanjat pohon jambu keling.” (membujuk)
Bakhtiar                 :”Lihat aja sendiri nanti, mana yang lebih cepat memanjat, aku atau kera?”
Arifin                     :(mengusik) “Kalau soal makanan si Tiar dapat memanjat pohon lebih dari kera.”
Lalu kedua anak itupun naik ke bendi Samsul. Kedua anak itu bernama Arifin dan Bakhtiar. Arifin, atau nama panjangnya Zainularifin, merupakan anak dari Hopjaksa Sutan Pamancuk. Sementara Bakhtiar, atau nama panjangnya Muhammad Bakhtiar anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas 2 di Belakang Tangsi. Keduanya adalah teman Samsulbahri, yang dalam 3 bulan lagi akan pergi bersama Samsul ke Jakarta, meneruskan pelajarannya. Arifin dan Samsul akan bersekolah di Sekolah Dokter Jawa sedangkan Bakhtiar akan bersekolah di Sekolah Opseter (KWS). Dalam perjalanan, mereka berbincang-bincang.
Arifin                     :(duduk di dekat Samsu) “Aku sangka aku akan terlambat.”
Samsulbahri           :”Biarkan engkau terlambat, tentu saja akan aku tunggu. Kita kan sudah berjanji.”
Nurbaya                 :”Apa sebabnya engkau akan terlamabat?”
Arifin                     :”Karena aku memang seorang yang suka tidur, apalagi karena tadi malam aku tak dapat tidur.”
Samsulbahri           :”Mengapa? Apakah di rumahmu sedang ada keramaian tadi malam?”
Arifin                     :”Ya. Memang ada. Keramaian yang sangat besar. Sampai pukul 12 malam masih tak dapt tidur.”
Nurbaya                 :(melihat Samsul) “Cobalah lihat, Sam, baik sekali hati Arifin ini! Ada keramaian dirumahnya, tidak memanggil kita.”
Arifin                     :”Masa engaku tak dapat panggilan?”
Nurbaya                 :”Sungguh, tidak!”
Arifin                     :”Jika demikian, tidak sampailah panggilan itu kepadamu.”
Bakhtiar                 :”Mengapa tidak?”
Arifin                     :”Sebab panggilan itu disampaikan oleh katuk-katuk.”
Nurbaya                 :(tercengang) “Dengan katuk-katuk?” “Cara baru mengundang seseorang yang berbahaya.”
Samsulbahri           :(tersenyum)
Arifin                     :”Tidakkah kau dengar bunyi katuk-katuk tadi malam?”
Nurbaya                 :”Iya, tentu. Tapi menurutku itu terjadi karena ada orang mengamuk.”
Arifin                     :”Ya, itulah dia! Bukankah setiap ada orang yang mengamuk, di rumahku pasti ada keramaian besar, karena orang yang mengamuk, orang yang diamuk, opas-opas, saksi-saksi, kepala-kepala dan ketua-ketua kampong dan lainnya, serta orang yang akan menonton, akan datang ke rumahku. Yah…untuk memberikan selamat kepada kami” (tertawa)
Nurbaya                 :(memalu) “Ah, itu maksudmu. Kusangka, kau benar-benar sedang berpesta.”
Arifin                     :”Berpesta tidak. Tetapi keramaian ada.” (tertawa)
Nurbaya                 :”Memang kau tukang mengolok-olok orang.” (tertawa)
Samsulbahri           :”Memang siapa yang yang tadi malam mengamuk? Di mana ia mengamuk?”
Bakhtiar                 :”Kau lihat orangnya?”
Arifin                     :”Tentu saja! Sebelum dibawa ke penjara, ia dibawa kerumahku.”
Bakhtiar                 :”Cobalah kauceritakan kepada kami bagaimana asalnya dan awalnya kejadian itu.”
Arifin                     :”Oh…karena kalian meminta supaya aku menceritakan hal ini, berarti kalian ingin sekali mendengarnya, iya bukan? Akan tetapi, oleh sebab kita hampir sampai ke Muara, kutahan keinginan hati kalian. Kalau kita sudah mendaki, penawar rasa lelah.”
Bakhtiar                 :”Coba lihat! Kikir sekali Arifin ini.” “Sudah kita tak dipanggil ke keramaian di rumahnya, sekarang ia mempermainkan hati kita untuk mengetahui sebab terjadinya keramaiaannya. Seperti pepatah Dimahalkan barangnya, sebab diketahui akan banyak yang membelinya.
Arifin                     :”Engkau berkata demikian karena tak percaya bahwa keramaian itu bukanlah pesta. Kau ini, lebih suka ke tempat keramaian yang banyak kue-kue daripada keramaian yang banyak darah.”
Bakhtiar                 :(kesal)
Samsulbahri           :”Menrutku, lebih baik Arifin menjadi seorang saudagar dari pada menjadi dokter. Karena saudagar memang seperti itu kelakuannya. Apabila saudagar itu telah mengetahui kalau barang dagangannya memang disuka oleh para pembelinya, dinaikanlah harga barang dagangan itu.” (tertawa)
Akan tetapi, ia merasa menyesal telah berkata seperti itu, takut menyinggung pesrasaan Nurbaya. Lalu dilihatnya Nurbaya. Rupanya, Nurbaya tidak mendengar perkataan yang baru saja diucapkan Samsul, karena sedang asyik melihat perahu-perahu yang baru masuk ke Muara Arau.
Sesungguhnya, mereka telah dekat dengan rumah jaga di Muara. Dibelakang rumah jaga ini, terdapat pangkalan kapal api kecil, dan kapal-kapal kail yang membawa ikan dari laut. Di depan rumah jaga ini, terdapat rumah tempat pengail-pengail ikan. Di sebelah baratnya menjulang Gunung Padang, bagaikan kepala seekor Naga yang muncul dari dalam laut. Di sebelah selatannya adalah kantor bea perahu-perahu yang masuk sungai Arau atau kapal-kapal yang berlabuh di Pulau Pisang, pelabuhan kota Padang dahulu yang sekarang telah pindah ke Teluk Bayur.
Tempat ini memang yang paling indah di kota Padang. Tempat ini juga sering kali dikunjungi oleh masyarakat yang suka berjalan-jalan dipagi hari, tak kala matahari sudah hampir Nampak, untuk mengambil hawa segar. Tak tersadari, merka pun sudah sampai tempat tujuan.
Arifin                     :”Bukan begitu…” (menyambung pembicaraan tadi) “Ada beberapa alasan aku tak mau menceritakan sekarang. Yaitu, agar kalian dapat menahan belajar bersabar. Ingatlah! Jangan sampai kita seperti cerita perempuan dengan kucingnya dan cerita ayam yang bertelur emas itu!”
Nurbaya                 :”Bagaimanakah ceritanya?”
Samsulbahri           :”Tidak tahukah engkau Nur, dengan cerita itu? Nanti aku ceritakan.”
Arifin                     :”Kedua….” (menyambung cerita)
Bakhtiar                 :”Hai, kita sudah sampai!”
Samsulbahri           :”Ya…” “Baiklah. Mari kita turun.”
Ke-empat anak itu :(turun dari bendi dan pergi ke pinggir sungai, mencari sampan)
Pak Ali                   :”Pukul berapa Engku Muda pulang?”
Samsulbahri           :(menoleh ke belakang) “Oh iya.. Datang sajalah pukul dua belas.”
Pak Ali                   :”Baiklah” (memutar bendinya)
Lalu, datanglah beberapa sampan mendekat…
Tukang Sampan     :”Naiklah sampanku ini! Disini sampannya tak oleng! Satu orang 1 rupiah!”
Nurbaya                 :”Lebih baik kita menunggu sampan yang datang itu. (menunjuk ke sampan yang datang) Sampan itu besar, jadi tak oleng.”
Samsulbahri           :”Benar.”
Ke-empat anak itu :(naik ke sampan)
Tak terasa, mereka telah samapi di seberang. Mereka mengeluarkan unag 4 sen dan membayarnya ke tukang sampan lalu, Arifin melompat ke daratan. Diikuti juga oleh teman-temannya.
Samsulbahri           :”Dikedai itu aku melihat ada batang tebu, marilah kita beli! Sebagai bekal minum kita di perjalanan.”
Bakhtiar                 :”Aku sudah membawanya 2 botol. Cukuplah…”
Samsulbahri           :”Kalau cukup. Kalau tak cukup, dimana kita akan membeli minuman?”
Lalu mereka memulai pendakian mereka melewati tanah-tanah yang curam di gunung Padang.
Nurbaya                 :(duduk di batu yang besar) “Alangkah enaknya jika ada kendaraan yang dapat kita tunggangi ke atas gunung ini!”
Arifin                     :”Belam sampai separuh jalan sudah lelah.”
Nurbaya                 :”Kalau tulangku ini sebesar tulangmu, aku takkan berkata seperti ini.”
Arifin                     :”Menurutku, sudah saatnya aku memulai cerita itu.”
Bakhtiar                 :”Ya, ya, ya. Mulailah”
Arifin                     :”Baiklah. Dengar baik-baik!” “Saat katuk-katuk itu berbunyi, aku sedang duduk dengan orang tuaku di serambi belakang, mau makan. Kami sangat terkejut saat mendengar katuk-katuk di bunyikan di dekat rumah kami. Ayahku dengan segera beranjak dari kursinya dan menghampiri opasnya. Lalu mengganti pakaian di biliknya. Seketika lagi, beliau keluar dan berterteriak…”
Ayah Arifin           :” Saban, siapkan bendi!”
Arifin                     :”…Lalu mengganti pakaian di biliknya. Seketika lagi, beliau keluar dan berterteriak.”
Ayah Arifin           :”Sudah, Saban?”
Arifin                     :”…Opas ayahku bisu, jadi ia mengisyarakatkan kepada ayahku bahwa bendinya sudah disiapkan. Ibuku sangat terkejut dengan teriakan ayahku dan hanya bisa berkata…”
Ibu Arifin               :”Hati-hati!”
Ayah Arifin           :”Tak usah khawatir!” (melompat ke atas bendinya)
Arifin                     :”…Maka tinggallah kami dan si Baki, sebab kusir bendi kita tak ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya kian lama kian keras, sehingga kami pun semakin takut. Maka, aku pun disuruh ibuku menutup jendela lalu masuk ke dalam bilik. Dua jam lamanya kami didalam ketakutan dan kira-kira pukul sebelas, bunyi katuk-katuk itu sudah mereda. Sudah semalam itu, ayahku belum juga pulang. Mataku sudah mulai mengantuk. Ibuku juga sama sepertiku, tetapi mungkin ia sangat gelisah memikirkan ayahku, takut terjadi apa-apa…”
Bakhtiar                 :”Lalu, apalagi?”
Arifin                     :”Nanti saja akan kusambung cerita itu dijalan.”
Lalu berjalanlah keempat anak muda itu. Ditengah-tengah perjalanan, Arifin menyambungkan cerita itu.
Arifin                     :”…Saat hendak tertidur, aku mendengar suara orang berkata “Jangan banyak bicara! Nanti kupukul kepalamu sampai kau tak dapat bergerak lagi.” Maka, terbangunlah aku saat mendengar perkataan itu. Aku dan ibuku sangat ketakutan. Dan juga, saat itu terdengar suara orang naik tangga rumahku, lalu mengetuk pintu. Aku tak bisa bergerak karena ketakutan. Tetapi ibuku memberanikan diri berteriak…”
Ibu Arifin               :”Siapa itu?!”
Opas Ayah Arifin  :”Aku.”
Ibu Arifin               :”Aku siapa?!”
Opas Ayah Arifin  :”Engku Hoofd, orang kaya.”
Arifin                     :”Lalu aku disuruh ibu membukakan pintu itu. Yang berada di depan memang opas ayahku. Dan dibelakangnya terlihat ayahku yang tergesa-gesa menaiki tangga rumah, dan bertanya kepadaku…”
Ayah Arifin           :”Kau belum tidur?”
Arifin                     :”Belum ayah.” “Karena takut, hilanglah ngantukku.”
Ayah Arifin           :”Baiklah, mari kita makan. Setelah itu, akan kuperiksa perkara itu.”
Arifin                     :”…Disitulah aku bertemu dengan si pengamuk itu.”
Nurbaya                 :”Bagaimana rupanya?”
Arifin                     :”Menurutku, ia masih muda. Memakai baju kotak-kotak. Tangan dibelenggu. Matanya masih berputar-putar, karena menahan amarahnya.”
Nurbaya                 :”Hi! Aku sangat takut. Jiak aku jadi engkau, takkan ku pandang dia. Orang mana dia dan apa sebabnya dia mengamuk?”
Arifin                     :”Dia anak Kampung Sawahan. Dia kalah bermain judi, karena kecurangan ia sendiri.”
Samsulbahri           :”Berapa banyak korban yang ditimbulkannya?”
Arifin                     :”Dua orang.”
Bakhtiar                 :”Bagaimana keputusan perkaranya?”
Arifin                     :”Dia akan diasingkan selama 10 tahun.”
Lalu, mereka tersenyum dan tertawa karena hasil hukuman yang diberikan kepada si Pengamuk itu.
Bakhtiar                 :”Lihatlah! Kita sudah sampai.”
Nurbaya                 :”Akhirnya kita sampai juga.”
Bakhtiar                 :”Asal sabar dan tawakal, niscaya kita akan sampai tempat tujuan dengan selamat.” “Aku akan pergi kesana sebentar.”
Samsul pun termenung saat memandang kota Padang dari atas Gunung ini. Saat ia sedang asyik termenung, ia terkejut saat ada seseorang yang memegang pundaknya.
Nurbaya                 :”Ada apa Sam?”
Samsulbahri           :”Tak apa Nur.” “Lihatlah! Itu ada Pulau Panjang dan Gunung Merapi.”
Nurbaya                 :”Iya. Tampak sangat indah dari atas.”
Samsulbahri           :”Aku punya pantun untukmu…
Dengarlah..
Pandang Panjang di lingkar bukit
Bukit dilingkar kayu jati
Kasih saying bukan sedikit
Dari mulut sampai kehati
Bagaimana Nur, bagus tidak?”
Nurbaya                 :(memerah mukanya)
Samsulbahri           :”Nur?”
Tiba-tiba terdengar suara orang teriak minta tolong. Saat didengar lagi, Nurbaya mengenali suara itu. Suara itu adalah suara Bakhtiar. Dengan segera Samsu dan Nurbaya berlari ke sumber suara yang mereka dengar. Ternyata…
Samsulbahri           :”Astagfirullah, Bakhtiar. Kenapa ini?”
Bakhtiar                 :”Sudahlah. Nanti akan kujelaskan.”
Samsulbahri           :(berusaha melepas cengkraman monyet-monyet) “Nur, tolong bantu aku.”
Nurbaya                 :”Iya.” (melakukan hal yang sama dengan Samsul)
Monyet-monyet pun sudah hilang.
Nurbaya                 :”Syukurlah, monyet-monyet itu sudah pergi.” “Memang apa yang sebenarnya sudah terjadi sampai kau dihadang oleh segerombolan monyet tadi.”
Bakhtiar                 :”tadi, aku melihat ada sebuah pohon pisang. Pohon itu pun sedang berbuah. Aku sudah terlalu lapar sampai akhirnya aku memakan lahap semua pisang itu tetapi, kusisakan satu untukku bawa ke rumah. Sebagai cinderamata perut. Tetapi saat di tengah perjalanan, ada segerombolan monyet yang mengearku dari belakang. Aku tahu kenapa mereka mengejarku. Aku langsung berlari sekuat tenaga tetapi mereka menerkamku daria atas…”
Samsulbahri           :”Kau merelakan nyawamu yang hampir hilang itu dengan sebuah pisang?”
Bakhtiar                 :”Hehehe…Iyah.”
Samsulbahri           :(marah) “Kau ini…”
Nurbaya                 :”Sudah…Lebih baik, kita pergi ke tempat tadi. Aku akan membuatkan rujak Jambu Keling yang telah kusiapkan bahannya dari rumah.”
Bakhtiar                 :”Asik. Buatkan dengan enak Nurbaya.”
Samsulbahri           :”Kau ini, hanya makanan yang kau cari.”
Bakhtiar                 :”Terserah padaku.” (pergi meninggalkan nurbaya dan Samsul) “Aku akan menyusul Arifin. Sepertinya, ia sedang berburu.”
Samsulbahri           :”Sudah tak membantu, menyuruh pula.”
Nurbaya                 :”Sabar!”
Lalu mereka pun membuat rujak tersebut. Rujak itupun sudah selesai mereka buat. Lalu datanglah Arifin dan Bakhtiar.
Arifin                     :”Siapa yang tadi berteriak minta tolong?”
Bakhtiar                 :”Aku…”
Arifin                     :”Kenapa Apa sebabnya kau berteriak tadi?”
Samsulbahri           :”Biasalah…tadi dia hampir saja kehilangan nyawanya demi sebuah pisang. Tadi dia diserbu oleh ratusan monyet-monyet.”
Arifin                     :(tertawa) “Sebaiknya Samsu tidak menolongnya tadi, biarkan dia mati diterkam monyet-monyet itu. Dia akan menjadi tokoh bersejarah karena salah satu orang yang mati demi makanan.” (tertawa)
Bakhtiar                 :(kesal)
Nurbaya                 :(menghampiri mereka) “Sudahlah. Lebih baik makan Rujak Keling.”
Mereka pun memakan Rujak buatan Nurbaya dan Samsul itu.
Arifin                     :”Bakhtiar, maukah kau kita berburu burung di sana?”
Bakhtiar                 :”Baiklah. Aku yang membedilnya, kau yang menangkapnya.”
Arifin                     :”Setuju.”
Lalu kedua anak itu pergi berburu. Maka tinggallah Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri berdua di gubuk itu. Nurbaya masih tersipu dengan perkataan Samsul tadi. Selang beberapa menit, terlihatlah Arifin dan Bakhtiar berlari kencang kea rah gubuk.
Arifin                     :(menghembuskan nafas panjang) “Hosh…Hosh…Hosh… Sebaiknya kita segera pulang saja.”
Nurbaya                 :”Mengapa?”
Bakhtiar                 :”Tadi aku hendak membedil burung yang sedang bertengger di dekat semak-samak. Kupikir itu benar-benar burung. Taka taunya…”
Arifin                     :”Ia membedil kaki seorang serdadu. Serdadu itu mengamuk dan hendak menangkap kami.”
Samsulbahri           :”Ayolah lekas kita pulang.”
Lalu mereka berlari menuruni lereng gunung Padang ini. Samsul berinisiativ untuk bersembunyi di kedai yang berada di kaki gunung. Saat mereka sedang bersembunyi…
Serdadu yang tak sakit   :”Kau tak apa-apa?”
Sardadu yang sakit                    :”Tidakkah kau lihat, kakiku berdarah! Sial! Ada anak lelaki yang membedilku. Jika kulihat mereka, akan kubunuh mereka.”
Mendengar perkataan itu, datanglah perasaan takut Bakhtiar dan Arifin.
Bakhtiar                 :”Apa yang harus kulakukan?”
Samsulbahri           :”Diam dan jangan kemana-mana!” (berbisik)
Lalu kedua serdadu itupun pergi.
Nurbaya                 :”Apakah mereka yang kamu bedil?”
Bakhtiar                 :”Ya…Salah satu dari mereka.”
Nurbaya                 :”Pantas dia begitu kesal tadi.”
Samsulbahri           :”Sudahlah…Lupakan saja. Lebih baik kita ke seberang. Bertemu dengan Pak Ali. Karena hari sudah menunjukan pukul satu siang.”
Nurbaya                 :”Ayo!”
Mereka pun menyebrang mengunakan sampan.
Pak Ali                   :”Engku Muda! Cepat! Sekarang sudah pukul setengah dua.”
Samsulbahri           :”Cepatlah! Kita akan pulang malam nanti.”
Mereka pun naik ke atas bendi. Bendi itu berjalan dengan sangat cepat.
Bakhtiar                 :”Jadikah kau pergi ke Jakarta?”
Nurbaya                 :”Siapa yang akan pergi?”
Arifin                     :”Kami.”
Nurbaya                 :”Kami?”
Samsulbahri           :”Aku, Bakhtiar, dan Arifin.”
Nurbaya                 :”Kau tak pernah mengatakannya kepadaku?”
Samsulbahri           :”Maaf. Aku tak berani mengatakannya.”
Nurbaya                 :(kesal) “Kapan kalian akan berangkat?”
Samsulbahri           :”Dua minggu lagi.”
Nurbaya                 :”Dua minggu?” (terkejut)
Bakhtiar                 :”Iya. Ada apa?”
Nurbaya                 :(tampak sedih) “Tak apa-apa.”
Pak Ali                   :”Engku muda, kita sudah sampai di rumah nak Arfin.” (menghentikan
Samsulbahri           :”Iya. Arifin, kita telah sampai rumahmu.”
Arifin                     :”Benarkah? Ayolah Tiar, kita turun. (turun bersama Bakhtiar dari bendi). Terima kasih Samsul, Nur.”
Samsulbahri           :”Terima kasih kembali.”
Lalu bendi itu berjalan kembali menuju rumah Samsul.
Samsulbahri           :”Kau kenapa Nur?”
Nurbaya                 :”Tak apa.” (melihat pemandangan dan tak menatap ke arah Samsu)
Samsulbahri           :”kau marah?”
Nurbaya                 :(tak menjawab)
Pak Ali                   :(menghentikan langkah kuda bendi) “Nona Nurbaya, kita telah sampai.”
Nurbaya                 :”Baiklah. Terima kasih Samsul.” (tersenyum) (turun dari bendi, menuju rumahnya)
Samsul pun segera turun dan pergi ke ruamhnya untuk istirahat.
[Pentas berubah menjadi ruang tamu di rumah Putri Rubiah] Tampak disana Putri Rubiah dan Sutan Hamzah.
Putri Rubiah           :”hamzah. Tidakkah kau heran dengan tingkah laku Mahmud belakangan ini?”
Sutan Hamzah       :(meneguk segelas kopi) “tentu…”
Putri Rubiah           :”Jangan-jangan dia di guna-guna?”
Sutan Hamzah       :”Diguna-guna?”
Putri Rubiah           :”Iya.”
Sutan Hamzah       :”Jika begitu akan ku panggil seorang dukun kemari.”
Putri Rubiah           :”Kau kenal dengan seorang dukun?”
Sutan Hamzah       :”Iya. Namanya Juara Lintau.”
Putri Rubiah           :”Berapa bayarannya?”
Sutan Hamzah       :”Aku tak tahu.”
Putri Rubiah           :”Baiklah. Panggil dia!”
Sutan Hamzah       :”Baiklah. Akan ku suruh pesuruh yang akan menemui rumahnya.”
Tak lama kemudian…
Juara Lintau           :(menaiki tangga rumah, masuk ke rumah) “Ada apa Putri dan Sutan memanggil hamba?”
Putri Rubiah           :”Bisakah kau melihat guna-guna dalam diri seseorang?”
Juara Lintau           :”Siapakah dia?”
Sutan Hamzah       :” Tuanku Penghulu Sutan Mahmud.”
Juara Lintau           :”Tuanku Penghulu?”
Putri Rubiah           :”Iya.”
Juara Lintau           :”Baiklah. Tapi hamba butuh sesuatu seperti pakaian, atau rambut, atau apapun yang dimiliki Tuanku.”
Putri Rubiah           :”Ini. Pakaian Tuanku Penghulu.” (memberi baju milik Sutan Mahmud)
Juara Lintau           :”Baiklah, mari kita mulai.” “Sepertinya di telah diguna-guna.”
Sutan Hamzah       :”Diguna-guna?”
Putri Rubiah           :”Guna-guna jenis apa?”
Juara Lintau           :”Pekasih.”
Putri Rubiah           :”Sudah kuduga.”
Sutan Hamzah       :”Siapa yang memberikannya?”
Juara Lintau           :”Seseorang yang dekat dengan Tuanku Penghulu.”
Sutan Hamzah       :”Perempuankah atau lelakikah?”
Juara Lintau           :”Perempuan.”
Putri Rubiah           :”Pasti istrinya.”
Juara Lintau           :”Sepertinya.”
Putri Rubiah             :”Kurang hajar!” “Bisahkah Juara menguna-guna dia?”
Juara Lintau             :”Sepertinya tidak.”
Sutan Hamzah          :”Mengapa?”
Juara Lintau             :”Karena ia memiliki guna-guna yang cukup hebat untuk melindungi dia dan keluarganya.”
Putri Rubiah             :”Jahanam! Jahat sekali dia!”
Juara Lintau             :”Maafkan hamba Putri.” “Mohon izin pulang Putri, Sutan. Hamba sudah janji dengan seorang pemanggil.”
Putri Rubiah             :”Baiklah. Ini bayaran kau.” (memberikan uang kepada Juara Lintau)
Juara Lintau             :”Terima kasih.” (keluar dari rumah Putri Rubiah)
[Pentas berubah menjadi rumah Sutan Mahmud] Dua minggu kemudian, tibalah saatnya Samsulbahri dan kedua kawannya pergi melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Ia dan Arifin akan belajar di sekolah STOVIA, sekolah dokter jawa. Sementara Bakhtiar, belajar di sekolah Pamong Praja. Dirumahnya, nanti malam akan diadakan pesta perpisahan Samsulbahri.
Samsulbahri              :”Pak Ali, sudahkah selesai persiapannya?”
Pak Ali                     :”Sudah Engku.”
Samsulbahri              :”Baguslah.”
Tiba-tiba datanglah Nurbaya, membawa bingkisan
Nurbaya                   :”Assalamu’alaikum…”
Samsulbahri              :”Wa’alaikumsalam. Kau sudah datang Nurbaya? Cantik sekali kau hari ini.”
Nurbaya                   :”Benarkah?”
Samsulbahri              :”Tentu, aku tidak bohong.” “Kau sudah tak maarh denganku?”
Nurbaya                   :”Untuk apa ku marah padamu?”
Lalu, datanglah Arifin dan Bakhtiar
Bakhtiar                   :”Ramakah tamu yang akan datang nanti?”
Nurbaya                   :”Tentulah…Ada apa?”
Arifin                       :”Ia takut kehabisan kue-kue.”
Samsulbahri              :”Tentu tak akan terjadi.”
Bakhtiar                   :”Aku hendak pergi kekamar mandi.”
Nurbaya                   :”Kenapa ke kamar mandi melewati dapur?” “Hendak mencuri kue?”
Bakhtiar                   :”Kau pandai mengenal orang Nurbaya.”
Arifin                       :”Jika engkau hendak melihat kue-kue itu , tangan mu harus diikat.”
Bakhtiar                   :”Dihikat? Haruskah?”
Nurabaya                  :(tertawa) “Iya. Agar tak dapat mencuri kue.”
Bakhtiar                   :’Aku tak mungkin mencurinya.”
Arifin                       :”Pasti kau mencuri.”
Samsulbahri              :”Sudahlah. Percayakan kepada sahabat kita yang satu ini. Jika ia melanggar, ia akan dapt hukuman.”
Bakhtiar                   :”Hukuman? Apa hukumannya?”
Nurbaya                   :”Tentunya rahasia.”
Bakhtiar                   :”Yahhhh…Baiklah. Setuju aku.”
Lalu mereka berempat pergi menuju dapur. Benar, disana banyak sekali kue yang disediakan. Seperti gunung kue saja dapur itu.
Bakhtiar                   :(berguram dalam hati) “Aku tak kuat lagi dengan bau kue ini. Aku akan memakannya saat mereka sudah pergi.”
Nurbaya                   :”Ada apa Tiar?”
Bakhtiar                   :”Tidak apa-apa.”
Samsulbahri              :”Diluar sudah banyak sekali tamunya. Aku akan menjamunya.” (pergi ke ruang tamu)
Nurbaya                   :”Aku mengikut Samsul.” (pergi)
Arifin                       :”Aku juga.” (pergi, berhenti, dan kembali ke Bakhtiar) “Jangan memakan kue-kue ini. Lihat saja nanti!.” (pergi)
Bakhtiar                   :”Securiga itukah engkau kepadaku?”
Namun, hati Bakhtiar tak dapatt dihentikan lagi. Ia tak dapat menahan semua hasratnya pada kue-kue yang lezat ini. Ia melahap separuh dari kue Tart yang paling besar. Tiba-tiba, Nurbaya, Samsul, dan Arifin datang kembali, hendak mengambil beberapa jamuan untuk para tamu.
Nurbaya                   :”Siapa yang memakan ini?”
Samsulbahri              :(menghampiri Nurbaya) “Memakan apa? “Ya Allah…” (terkejut)
Arifin                       :(melihat Bakhtiar) “Engkaukah ini?”
Bakhtiar                   :”Tidak.”
Nurbaya                   :”Iya. Dikerah bajumu ada percikan cream. Sungguh, satu-satunya kue yang memakai cream hanya itu.”
Bakhtiar                   :”Maaf. Maaf. Aku tak kuat lagi menahan laparku.” (tertawa kecil)
Samsulbahri              :”Sesuai dengan perjanjian kau akan dihukum.”
Arifin                       :”Yah. Benar. Aku mempunyai ide!”
Nurbaya                   :”Apa?”
Arifin                       :”Mari melingkar!” (membentuk lingkaran bersama Nurbaya dan Samsul)
Samsulbahri              :”Baiklah! Aku setuju!”
Nurbaya                   :”Aku juga.”
Bakhtiar                   :”Apa yang akan kalian lakukan kepadaku?”
Arifin                       :”Rahasia. Mari kita keluar (menggandeng tangan Bakhtiar) para tamu sudah berdatangan.”
Samsulbahri              :”Benar sekali kau.”
Mereka pun kembali keruang tamu, tempat acara itu dimulai. Lalu dibukalah acara itu dengan sambuatan Samsulbahri. Lalu mereka mengadakan makan malam. Kemudian berdansa. Dan pesta minum teh. Acara itu selesai pada pukul 1 malam. Mereka memberi Samsul cinderamata untuk ia pergunakan dan ia kenang selama di Jakarta, lalu mereka semua pulang ke rumahnya masing-masing.
Nurbaya                   :”Sam, aku hendak pulang dulu.”
Samsulbahri              :”Tunggu! Ayahmu berpesan agar menghatar kau sampai ke rumah. Kau juga seorang gadis, tak pantas pulang ke rumah semalam ini.”
Nurbaya                   :”Baiklah, terima kasih Sam.”
Lalu mereka pulang ke rumah Nurbaya. Sesampainya di pekarangan rumah…
Samsulbahri              :”Nur, bisakah kau menyita waktumu sebentar?”
Nurbaya                   :”Untuk apa?”
Samsulbahri              :”Aku hendak bicara sesuatu hal denganmu.”
Nurbaya                   :”Baiklah.”
Maka duduklah mereka ditangga rumah Nur. Tak ada seorang pun yang dapat melihat mereka karena hari sudah semakin gelap. Hanya lampu lentera dan cahaya rembulanlah yang menerangkan pandangan malam itu.
Samsulbahri              :”Alangkah indah cahaya bulan ini!”
Nurbaya                   :”Kau benar. Subhanaallah.”
Samsulbahri              :”Rembulan itu hanya dapat menambah hatiku sedih meninggalkan kota ini. Disinilah aku dilahirkan, disinilah aku dibesarkan, disini pula orangtua, teman, sanak saudaraku tinggal. Ya Allah…Berat sekali hatiku ini meninggalkan kota ini.”
Nurbaya                   :”Apa yang engkau ragukan lagi? Uang sudah tersedia, bekal sudah disiapkan, kau tinggal berangkat saja.”
Samsulbahri              :”Tetapi masih ada yang mengganjal hatiku ini.”
Nurbaya                   :”Apa?”
Samsulbahri              :”Aku pernah bermimpi, saat aku hendak mendaki sebuah lereng, kau malah mengikutiku. Tetapi saat sudah sampai pertengahan, tiba-tiba datanglanh Datuk Meringgih mengambil engkau. Pastilah akan ku ambil kembali engkau. Tetapi, ia dan anak buahnya menjatuhkan kita ke jurang yang dalam.” “Aku sangat takut akan mimpi itu, sejak 1 bulan yang lalu.”
Nurbaya                   :”Itu hanya mimpimu. Tak mungkin terjadi di dunia nyata.”
Samsulbahri              :”Aku tahu itu. Tetapi, aku juga sangat khawatir tentang perasaan yang ini?”
Nurbaya                   :(menatap Samsu) “Perasaan yang mana?”
Samsulbahri              :(menghela napas) “Ketahuilah Nur. Karena esok aku akan merantau ke negeri orang yang tak pernah ku tahu seperti apa, untuk meneruskan pendidikanku. Aku akan mengungkapkan perasaanku kepadamu. Sungguh, aku sangat mencintaimu, Nur. Sungguh, telah lama kusimpan perasaan ini. Dari dulu hingga kini, aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaan ini. (menatap dalam mata Nurbaya) kita telah lama bersahabat, telah lama bersaudara. Sudah pernah kita makan bersama, main bersama, belajar bersama, makan bersama, tidur bersama, mandi bersama, semua yang kita lakukan sudah bersama-sama. Tak kusangaka akan timbul perasaan ini…”
Nurbaya                   :(terkejut)
Samsulbahri              :”…Nur, sudikah engkau menjadi istriku kelak jika aku sudah menjadi dokter?” (memegang tangan kanan Nurbaya)
Terkejutlah ia saat mendengar bahwa Samsul telah meminangnnya.
Nurbaya                   :(bahagia) “Sungguh aku terkejut akan hal ini. Sungguh, aku pun berperasaan yang sama juga terhadap engkau. Masa aku tidak menerimamu…”
Diciumlah kedua tangan Nurbaya.
Samsulbahri              :(mencium tangan Nurbaya) “Sungguh, kukira kau akan membenciku. Tak kusangka kau berperasaan yang sama juga terhadapku.”
Nurbaya                   :”Begitulah…”
Lonceng di menara pun sudah berbunyi. Itu menandakan bahwa hari sudah pukul 2 malam.
Nurbaya                   :”Sam, har telah pukul 2 malam. Sebaiknya kau lekas tidur karena esok kau akan pergi merantau.”
Samsulbahri              :”Asalkan bersama engkau, rasa lelahku akan hilang.” “Malam mini adalah malam yang sangat penting bagiku. Karena pada mala mini aku telah meminang jodohku yang aku idam-idamkan siang dan malam.” “Selagi masih ada umurku, aku takkan pernah lupa akan malam ini. Itulah saksiku, Nur.” “Aku takkan pernah menyukai perempuan selain engkau. Hanya engkau yang ada dihatiku. Saat ini, dan selamanya. Engkaulah harapanku. Engkaulah kebahgiaankanku kelak. Jika tidak engkau, haramlah bagiku wanita lain. Itu janjiku.”
Nurbaya                   :”Akupun demikian.” “Allahlah saksiku, engkaulah yang akan menjadi suamiku kelak. Dunia maupun Akhirat.”
Samsulbahri              :”Masukalah engkau kedalam. Takut ada orang yang mengetahui ini.”
Nurbaya                   :”Baiklah. Hati-hati.”
Sebelum masuk, di peluk dan di ciumlah kening Nurbaya oleh Samsulbahri. Ia sangat senang terhadap perasaannya saat ini. Lalu masuklah Nurbaya ke Rumah dan pulanglang Samsul ke rumahnya.
[Pentas menggambarkan suatu pelabuhan dan kapal] Di Teluk Bayur, berdiamlah kapal yang akan ditungganginya sampai ke Jakarta.
Sutan Mahmud        :”Tak adakah yang tertinggal lagi?”
Samsulbahri              :”Tak ada ayah.”
Sautam Mahmud      :”Uang?”
Samsulbahri              :”Sudah ku bawa.”
Sutan Mahmud        :”Peti?”
Samsulbahri              :”Sudah.”
Sitti Maryam            :”Hati-hatilah kau disana Sam. (menangis) Jangan lupa kirim surat pada kami. Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Jangan berteman dengan orang yang tidak baik. Jangan belajakan uangmu dengan hal-hal yang tak perlu.”
Samsulbahri              :(memeluk ibunya)
Saat itu, datanglah Nurbaya dan pergilah mereka.
Samsulbahri              :”Nurbaya!” “Hati-hatilah engkau disini. Jaga dirimu dan ayahmu. Sering-seringlah berkunjung ke rumahku. Jika ada sesuatu yang tidak mengenakan dirumahku, kirimlah surat kepadaku. Ingatlah engkau pada janji kita tadi malam. Sesungguhnya, kita sudah menjadi suami-istri menurut batin kita. Tetapi menurut dunia dan agama sajalah kita belum resmi menikah dan juga belum berhubungan. Aku ada satu cinderamata yang akan kau pakai sehari-hari. Yaitu kalung yang didalmnya ada fotoku dan engkau. Jika kau lupa atau teringat padaku, lihatlah fotoku ini.”
Nurbaya                   :”Aku takkan lupa. Aku akan selalu memakai ini setiap hari. Ini, aku juga mempunyai suatu cinderamata untuk mu. Suatu cincin yang diberiakn mak ku. Ia berpesan agar memberikannya kepada suamiku kelak. Kutitipkan cicin itu kepadamu. Agar kau selalu teringat padaku. Dan ini juga ada foto kita saat masih kanak-kanak.”
Samsulbahri              :”Aku akan selau memakainya.” “Lekaslah. Kapal ini hendak berangkat.” (mencium pipi dan memeluk erat Nurbaya)
Nurbaya                   :”Jaga dirimu!” (menagis) “Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku!”
Samsulbahri              :(menangis) “Aku juga”
Lalu kapal itu berangkat menuju Jakarta. Tampak dipelabuhan Nurbaya yang sedang meratap kesedihan. Tetapi, ayahanya datang dan mengajak pulang Nurbaya.
3 bulan setelah kepergian Samsul, kini Nurbaya telah mendapat surat dari kekasihnya itu. Ia sangat senang sekali ketika membaca surat itu. Ia bahagia ketika membaca pernyataan kekasihnya itu sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Sesaat kemudian, datanglah Pak Ali ke rumah Nurbaya untuk mengantarkan buah-buahan yang dikirim oleh Samsul. Senanglah hati Nurbaya ketika mendengar hal itu. Lalu dimakannyalah buah-buahan itu. Ia pun menyisihkan buah itu untuk ayahnya, karena ia sedang mengurusi perdagangannya. Saat hari sudah larut malam, tertidur pulaslah Nurbaya dikamarnya. Saat pukul 6 pagi, ia terbangun karena mendengar bel peringatan kebakaran dimana-dimana. Dilihatnya Sutan Mahmud yang hendak pergi menuju pusat kebakaran itu. Lalu, dilihatnya langit tenggaranya sedang berwarna merah ke kuning-kuningan.
Nurbaya                   :”Apa yang sebenarnya terjadi?”
Setahun telah berlalu, Samsul dan Arifin sudah menguasai konsep dasar seorang dokter. Mereka tak pernah tertinggal pelajaran dan tak pernah jelek nilai ulangannya. Saat ia sedang istirahat di kamarnya, jatuhlah foto Nurbaya dan pecahlah bingkai kacanya.
Samsulbahri              :”Heran. Kenapa ini bisa terjadi?” (merapihkan dan membenarkan foto Nurbaya)
Tiba-tiba, datanglah Arifin membawa surat.
Arifin                       :”Samsu, kau telah mendapat surat.”
Samsulbahri              :”Dari?”
Arifin                       :”Nurbaya sepertinya.”
Samsulbahri              :”Nurbaya?” (mengambil kertas itu) (melihat nama pengirim surat) “Iya benar ini Nurbaya. Kenapa ia mengrimkan surat kepadaku?”
Arifin                       :”Entah.”
Lalu dibuka dan dibacalah surat itu.
Isi dari surat itu adalah :

Padang, 19 Maret 1989
Kekasihku Samsulbahri
Walaupun kuketahui bahwa surat ini tak pantas kuberikan kepada karena akan membawa berita duka cita. Sungguh, aku sebenarnya tak mau melakukan ini. Aku terpaksa melakukannya demi ayahku. Ya Allah, beginikah nasibku ini? Akan kuceritakan kepada engkau tentang musibah terbesar yag kualami.
Dihari engkau mengirim surat, itulah yang menjadi awal mulanya. Ketiga toko ayahku habis terbakar api. Penjaga tokopun meninggal. Entah apa yang membuatnya terbakar. Sebab listrik, bukan. Seabab apa? Sepertinya, ada yang sengaja membakarnya. Lalu ayah pulang yang dihantarkan bapakmu.
Baginda Sulaiman    :”Terima kasih banyak sudah mengantarku.”
Sutan Mahmud        :”Tak usah sungkan. Bagaimana dengan tokomu itu?”
Baginda Sulaiman    :”Sudahlah. Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan ganjaran yang lebih baik.”
Sutan Mahmud        :”baiklah. Aku turut berduka.” (pulang ke rumahnya)
Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Lalu aku menghampiri ayahku. Beliau bercerita tentang semua yang terjadi. Ternyata, ketiga toko yang menjadi pusat ekonomi keluarga sudah lenyap begitu saja. Begitu pula dengan kebun kelapanya. Tak berbuah lagi dan pada mati. Berdukalah ayahku saat itu. Ia takut tak dapat menghidupiku. Ia pun terpaksa untuk meminjam uang kepada Datuk Meringgih. Beliau tak tahu sifat asli Datuk yang kejam. Beliau pun meminjam dengan jangka waktu 3 bulan, untuk melangsungkan perniagaannya. Tetapai apa daya, barang dagangannya tak laku dibeli orang. Dan pada saat itu, sudah genap 3 bulan ayahku meminjam uang kepada Datuk Meringgih. Datuk memaksa ayahku membayar hutangnya. Tetapi ayah tak punya uang lagi. Datuk berjanji akan menagih hutang 1 minggu lagi. Jika uang itu tak dibayarnya, akan di masukkannya ayah ke penjara dan disita rumahnya. Atau hutang itu akan lunas apabila aku menikah dengan dia.
Ayah pun menepatinya dan berunding nasibnya padaku. Ia menolak jika Datuk yang kejam itu menikahiku. Akupun berpikiran sama dengan beliau. Tetapi aku pun tak kuasa melihat ayauhku dipenjara. Seminggu aku tak tidur, akupun tak makan, yang hanya bisa kulakukan menangis. Entah apa yang terjadi, aku menghiraukannya.
Minggu yang ditunggu pun terjadi. Datuk datang ke rumah membawa seorang serdadu yang akan memenjarakan ayahku. Ayah pasrah dengan semua yang terjadi. Saat ayahku hendak dibawa, dengan sangat terpaksa aku mengatakan.
Nurbaya                   :”Jangan penjarakan ayahku! Baiklah, aku akan menikahimu sebagai pengganti dari uang yang dipinjamkan ayahku.”
Sungguh, aku terpaksa melakukannya. Aku tak tega melihatnya dipenjara. Sam, maafkan aku. Aku tak bisa menepati janjiku untuk menjadi istrimu kelak. Harus kau ketahui, kau adalah lelaki yang hanya ada di hatiku. Semoga kau baik-baik saja disana.

Membaca surat itu, menangislah Samsul dengan tiada hentinya. Setelah membaca itu, berkatalah dia…
Samsulbahri              :”Jahanam! Kau adalah seorang anjing tua yang bengis. Tak pantas kau menikahi Nurbaya. Lebih baik kau menikahi setan! Sampai nyawa ku habis, aku akan balas dendam pada mu!”
Begitulah akhir dari cerita Nurbaya kebanyakaan. Tetapi, masih ada kelanjutannya.
[Pentas menggambar ke adaan di asrama Samsulbahri] 5 tahun berlalu, Samsul masih tersedih akan musibah yang di timpa oleh kekasihnya. Dan kini, tibalah saatnya ia mendengar bahwa orang yang dicintainya meninggalkan dunia ini.
Arifin                       :”Sam, ada surat untukmu.”
Samsulbahri              :”Dari?”
Arifin                       :”Bapakmu.”
Samsulbahri              :”Bapak? Cepat bawakan kemari.”
Setelah dibacanya surat itu, mengislah ia terpuguh-puguh.
Arifin                       :”Ada apa Sam?”
Samsulbahri              :(menangis) “Nurbaya… telah meninggalkan dunia ini, karena lelaki Jahanam itu. Ia memberi bubuk racun kepada Nur saat ia hendak pergi kemari dengan Pak Ali. Ibu, juga demikian. Ia meninggalkan ayahku ke alam kubur karena jatuh sakit mendengar Nur meninggal. Begitu pula Baginda Sulaiman, ia meninggal jatuh sakit karena Nurbaya yang telah menikah dengan Datuk Jahanam itu. Ya Allah. Akan ku balas perbuatannya!”
Samsul sangat bersedih kerena itu. Ia duduk sendiri di sebuah taman di dekat kamarnya.
Arifin                       :”sam, malam-malam begini apa yang kaulakukan?”
Samsulbahri              :(menengok ke arah Arifin, memasang pistol di kepalanya dan menembaknya) “Doooooooorrrrrr…..”
Arifin                       :”Sam, sam. Kau sudah gila! Bangunlah! Astagfirullah.. Tololong.. Tolong..”
Samsul bunuh diri karena kejadian itu.
[Pentas menggambarkan sebuah kafe] 7 tahun berlalu setelah peristiwa jalan-jalan di Gunung Padang, hiduplah seorang Letnan dan temannya.
Letnan Yan Van Sta      :”Kau tahu tidak, di Padang sedang terjadi pemberontakan.”
Letnan Mas              :”Padang?”
Letnan Yan Van Sta      :”Kudengar kita akan ditugaskan disana.”
Serdadu                    :”Maaf Letnan, kalian di panggil oleh Kapitan.”
Berangkatlah mereka menemui Kapitan di ruangannya.
Kapitan                    :”Kalian akan kutugaskan di Padang.” “Nesok kalian akan berangkat kesana.”
Letnan Mas              :”Baiklah.”
Lalu kedua Letnan itu berkemas dan pergi ke pelabuahan hendak pergi ke Padang. Di Padang sedang terjadi pertempuran dahsyat. Kubu Datuk Meringgih melawan Belanda. Datuk Meringgih, Kepala-kepala kampung, Tuanku Laras, semua bertarung. Termasuk pemuda-pemuda. Belanda yang dipimpin Residen, dan di bantu oleh Letnan Mas, dan Yan Van Sta bertarung melawan Datuk Meringgih.
Datuk Meringgih      :”Matilah kau, wahai Anjing-anjing Belanda!”
Pendekar Lima         :”Kami tak sudi!”
Pendekar Empat       :”Iya!”
Pendekar Tiga          :”Matilah kalian!”
Kepala kampung      :”Iya! Kalian tega! Melawan saudara kalian sediri yang tertindas dengana adanya pajak Belasting itu.”
Pemuda                    :”Benar!”
Lalu pertempuran terjadi. Letnan Mas membunuh Datuk Meringgih. Datuk Meringgih berhasil menebas Letnan Mas. Letnan Mas jatuh sakit dan koma, dirawat di rumah sakit. Ia meminta kepada perawat untuk memanggil Sutan Mahmud.
Letnan Mas              :”Kau adalah Sutan Mahmud?”
Sutan Mahmud        :”Iya. Kau siapa?”
Letnan Mas              :”Aku adalah temannya Samsul. Ia menceritakan semua yang terjadi. Sebenarnya ia belum meninggal. Ia sedang ada di Padang. Berganti nama menjadi Letnan Mas.”
Sutan Mahmud        :”Benarkah itu?”
Letnan Mas              :”Iya, ia rindu padamu.(menghembuskan napas yang terakhir)
Sutan Mahmud        :”Tuan-tuan. Sadarlah!” “Hai pemuda! Apakah kau tahu dimana Letnan Mas?”
Pemuda                    :”Itu! Yang ada bersamamu sekarang.”
Terkejutlah Sutan Mahmud mendengarnya. Ia tak bsa membendung rasa sedihnya sekarang. Ia akhirnya memakamakan Samsul di dekat Makam Nurbaya, Sitti maryam, dan baginda Sulaiman. Ia sendiri meninggal karena jatuh sakit dan dimakamkan di sebelah Sitti Maryam. Begitulah akhir dari cerita ini. Kebahagiaan bukanlah hanya ada di dunia, tetapi yang paling berharga, adalah di akhirat kelak. Tempat yang abadi hanya kepunyaan Allah SWT.

0 komentar:

Posting Komentar